(Dikutip Seutuhnya dari Wikipedia Indonesia)
Istana Panembahan Matan di Mulia Kerta Ketapang merupakan salah satu istana
era Kerajaan Melayu Islam yang tersisa di Kalimantan Barat.
Berdasarkan jejak sejarahnya, Istana Panembahan Matan merupakan pusat
pemerintahan dari Kerajaan Matan-Tanjungpura yang sebenarnya kelanjutan dari
Kerajaan Tanjungpura dari era Hindu yang pernah mempunyai nama besar di
seantero Kalimantan.
Secara periodik, Kerajaan Matan-Tanjungpura yang berpusat di Mulia Kerta
adalah kelanjutan dari Kerajaan Tanjungpura. Bermula di Sukadana Kabupaten
Kayong Utara (KKU), Tanjungpura menuliskan peradabannya, sepanjang sejarah
Tanjungpura yang berjalan semenjak kira-kira tahun 1431 M, sampai dengan tahun
1724 M, dengan Sukadana menjadi pusat pemerintahannya.
Ketika kerajaan Pontianak berdiri sebagai kota pelabuhan, Sukadana merupakan
bandar pelabuhan perdagangan yang menjadi saingan sehingga perlu ditaklukan
oleh Pontianak. Sehingga pada tahun 1876 terjadi Perang Sukadana dengan
Pontianak.
Dalam perang ini Sukadana mengalami kekalahan, akhirnya pelabuhan dagang
Sukadana ditutup. Sultan Akhmad Kamaludin memindahkan pusat pemerintahannya
dari Sukadana ke Matan kemudian menghulu memindahkan pusat pemerintahan ke
Indra Laya (Kecamatan Sandai), selanjutnya berpindah ke Karta Pura, Tanah Merah
(Kecamatan Nanga Tayap).
Menghilir lagi ke sungai pawan dan mendirikan lagi pusat kerajaan di Desa
Tanjungpura (masih di daerah Kabupaten Ketapang), lantas terakhir memusatkan
pemerintahannya di Mulia Kerta sejak zaman Panembahan Gusti Muhammad Sabran
sampai berakhir pada zaman pemerintahan Panembahan Gusti Muhammad Saunan.
Sebagai Kabupaten yang memiliki banyak jejak-jejak sejarah peradaban masa
silam, sisa-sisa sejarah yang masih dapat ditemui di Ketapang selain Istana
Panembahan Matan-Tanjungpura, di antaranya adalah Makam Keramat Sembilan di
Desa Tanjungpura dan Makam Keramat Tujuh di Mulia Kerta, serta berbagai
peninggalan lain seperti makam-makam dan reruntuhan bangunan kuno di Kecamatan
Sandai dan Nanga Tayap.
Kerajaan Tanjungpura merupakan
kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten
Ketapang ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi),
sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura. Wilayah kekuasaan
Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting,
yaitu mencakup sebagian wilayah propinsi Kalimantan Barat dan sebagian
wilayah Kalimantan Tengah bagian barat sekarang.
Kemudian
Tanjungpura menjadi sebuah propinsi Majapahit, kemungkinan nama
Tanjungpura sudah menjadi umum untuk sebutan pulau Kalimantan. Selepas
mangkatnya Gajah Mada kemungkinan ibukota pulau Tanjungpura berada di
Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk
menguasai wilayah lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di
Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh
luas membentang dari Kerajaan Sambas hingga Karasikan (Kerajaan Tidung)
di perbatasan Kalimantan Timur-Sabah dengan rajanya seorang dara ketika
ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh
Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (= Bhre Tanjungpura I?) digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura II?). Raden Sekar Sungsang
putera Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura III?) memindahkan
ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Daha. Menurut Tutur Candi
(Hikayat Banjar versi II), ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang
mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia
mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre
Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre
Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa
1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam
Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini
menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu
Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Ibukota
Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura
berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak
(bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon
sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering
beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering
mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya
ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah
yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru
di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat
pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan
Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini
ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah
riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut
wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan
tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia
[ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi
yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari
suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan
Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa
Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton
Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah
disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke
Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke
Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan
Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya
sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu
tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian
disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa
Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura
sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta
di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai
pusat pemerintahan swapraja.
Bukti
adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di
kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura
dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang
telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan
kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari
kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Dalam
melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut
diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua
kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang.
Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah
raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu
rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut
salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
- Brawijaya (1454–1472)
- Bapurung (1472–1487)
- Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Pada masa pemerintahan Panembahan
Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di
Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya
pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Kerajaan Sukadana
- Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
- Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
- Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
- Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
- Panembahan Baroh (1533–1590)
- Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
- Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
- Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622–1665)
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang memeluk agama Islam.
Kerajaan Matan
- Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
- Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
- Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
- Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
- Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Gusti Asma adalah raja terakhir
Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan
Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti
menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
Kerajaan Simpang-Matan
- Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
- Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845)
- Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889)
- Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
- Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
- Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
- Gusti Ibrahim (1945)
Gusti Mesir menjadi tawanan
tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda
pada 1942, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di
Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia,
sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir,
sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak
14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu
Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga
wafat pada 1952.
Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
- Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat
- Pangeran Agung
- Sultan Mangkurat Berputra
- Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)
- Pangeran Muhammad Sabran
- Gusti Muhammad Saunan
Meski terpecah-pecah menjadi
beberapa kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura
(Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan
atau Kerajaan Tanjungpura II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya
masing-masing. Silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan
Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di atas adalah salah satu
versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain yang juga
menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga
Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber
(P.J. Veth, 1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J.
Barth, 1896; Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah
Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:
Kerajaan Tanjungpura
- Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)
- Hyang-Ta (900–977)
- Siak Bahulun (977–1025)
- Rangga Sentap (1290–?)
- Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)
- Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461–1481)
- Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481–1501)
- Panembahan Kalahirang (1501–1512)
- Panembahan Bandala (1512–1538); Anak Kalahirang
- Panembahan Anom (1538–1565); Saudara Panembahan Bandala
- Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565?1590)
Kerajaan Matan
- Giri Kusuma (1590–1608); Anak Panembahan Bandala
- Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608–1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak
- Panembahan Ayer Mala (1622–1630); Anak Panembahan Bandala
- Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, atau Pangeran Iranata/Cakra (1630–1659); Anak/Menantu Giri Kusuma
- Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659–1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin
- a. Pangeran Agung (1710–1711); Perebutan kekuasaan
a. Pangeran Agung Martadipura (1725–1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah
- Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah
- a. Pangeran Ratu Agung (1735–1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
b. Sultan Muazzidin Girilaya (1749–1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang
- Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762–1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga
- Pangeran Ratu atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin
- Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831–1843); Anak Pangeran Mangkurat
- Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843–1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat
- Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908); Anak Panembahan Anom Kusuma Negara
- Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran
- Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924–1943); Anak Gusti Muhammad Busra
- Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar