Tengku Akil Dipertuansyah, Raja Sukadana Baru/Nieuw Broesseol
Tengku Akil dari Siak
adalah nama yang tak asing di kampoengku di Kab. Kayong Utara, Kalbar, terutama
bagi masyarakat Sukadana, terlebih lagi kalangan Bangsawan Sukadana yang
bergelar Tengku.
Tengku Akil Siak adalah Anak Raja Siak
yang dibawa Belanda untuk mengisi kekosongan pemerintahan Sukadana yang telah
ditinggalkan mundur oleh Pemerintahan Raja Sukadana-Tanjungpura, karena
terdesak oleh sebab akibat seringnya peperangan seperti perang dengan Kerajaan
Landak karena berebut pusaka Intan Kobi, pernah diserang Mataram yang kemudian
menawan Panembahan Ratu Air Mala, diserang Inggris, diserang Pontianak untuk
melumpuhkan pelabuhannya, sering dirompak Lanun dan kemudian Belanda.
Penerus Kerajaan Sukadana-Tanjungpura ini
berpindah ke Sungai Matan (sekarang Kecamatan Simpang Hilir-KKU). Namun,
ekspansi Belanda ke wilayah Kerajaan Matan terus berlanjut, pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin tahun 1822 datang rombongan komisi
Belanda yang dipimpin oleh C. Muller, untuk menduduki Sukadana dan menuntut hak
atas Pulau Karimata. Di dalam rombongan inilah ikut serta Tengku Akil. Pada
akhirnya Matan Tanjungpurapun terpecah menjadi Kerajaan Simpang-Matan (yang
terakhir di Teluk Melano-Kayong Utara) dan Kayong-Matan (yang terakhir di
Muliakerta-Ketapang).
Yang masih perlu ditelusuri tentang Tengku
Akil ini adalah Dalam catatan orang Sukadana dikatakan bahwa Tengku Akil
sebagai cucu Raja/Sultan Yahya, sengaja dibawa Belanda yang bermaksud
menggantikan kedudukan Raja di Sukadana yang telah kosong. Tengku Akil akhirnya
dapat menduduki dan memerintah Sukadana bergelar Raja Tengku Akil Dipertuansyah
(1827). Sukadana Baru inipun lebih dikenal dengan nama Nieuw Broesseol oleh
orang Belanda.
Jika menelisik nama Sultan Yahya, maka
dalam urutan Sultan Siak, Sultan Yahya adalah Sultan ke-enam yang memerintah
tahun 1782-1784. Sedangkan dalam Syair Siak Sri Indrapura Dar As-Salam Al-Qiyam
tertulis nama Tengku Akil sebagai anak ketiga dari Sultan Siak ke-empat yakni
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1776-1780). Tertulis pula Tengku Akil adalah
adik daripada Tengku Muhammad Ali tertua Putra Mahkota Siak Sri Indrapura yang
kemudian setelah dinobatkan menjadi Raja bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul
Jalil Muazzam Syah (1780-1782) atau Sultan Siak kelima.
Setelah masa Sultan Yahya, yang memerintah
Siak adalah Dinasti Sayyid atau Ba’alawi, keturunan dari Sayyid Syarif Utsman
yang menikah dengan Embun Badariah, Puteri dari Sultan Siak ke-empat yakni
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, atau kakaknya dari Tengku Akil.
Dalam catatan orang Belitong, Tengku Akil
awal mulanya bekerja untuk Inggris, kemudian bekerja untuk Belanda. Tahun 1813,
Inggris oleh Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Jendral Giullespie
menguasai Palembang, terus Mayor W. Robinson meduduki Bangka kemudian mengutus Tengku
Akil dari Siak guna menguasai Belitung. Tengku Akil mendapat perlawanan, dalam
pertempuran itu Depati KA Hatam tewas dengan kepala terpotong atau terkerat.
Anak KA Hatam yang masih berusia muda, KA
Rahad dan beberapa saudaranya yang lain berhasil diselamatkan sepupunya KA
Luso. KA luso dan orang-orang berhasil mengusir Tengku Akil hingga Tengku Akil
lari ke bersembunyi di Pulau Lepar dan kemudian tahun 1820 Tengku Akil menjadi
kaki tangan Belanda di Bangka tapi mendapat perlawanan pula oleh Demang Singa
Yuda dan Juragan Selan hingga perahu dan pasukannya ditenggelamkan.
Sedangkan dalam catatan sejarah kaum
kerabat Kerajaan Kubu keturunan Alawiyyin ber-fam Alaydrus dan orang-orang Kubu
pada umumnya, nama Tengku Akil juga dikenal karena pernah terjadinya konflik
akibat suatu ekspedisi yang dipimpin Tengku Akil dari Siak, atas perintah dari
Belanda. Akibat konflik ini, Yang Dipertuan Besar Kubu Syarif Idrus bin
Abdurrahman Alaydrus menemui ajalnya pada tahun 1794 M, terbunuh ketika sedang
shalat Subuh. Konflik dengan rombongan Siak dibawah pimpinan Tengku Akil inilah
konon yang membuat sumpah Raja Kubu yang menyatakan mengharamkan anak
keturunannya menikah dengan orang-orang Siak.
Boleh jadi Tengku Akil yang berkelana
menyerang Belitong, Bangka, berbuat huru hara di Negeri Kubu dan menjadi Raja
di Negeri Sukadana adalah Tengku Akil yang sama, jika menilik tahun-tahun
terjadinya penyerangan Belitong, Bangka dan pendudukan Sukadana.
Dan, yang memang perlu dikaji lagi,
siapakah orang tua dari Tengku Akil yang selalu disebut Tengku Akil Siak ini?!
Apakah Tengku Akil itu cucu Sultan Yahya atau anaknya Sultan Abdul Jalil
Alamuddin Syah.
Yang pasti, di Sukadana terdapat banyak
peninggalan dari trah Tengku Akil yang pernah memerintah Sukadana. Di Pulau
Karimata, terdapat pula makam Tengku Abdul Jalil yang menjadi penguasa
Karimata, yang juga kerabat dari Tengku Akil Siak ini.
Jadi, pengembaraan Tengku Akil ini memang
bikin heboh negeri serantau…dari Sumatera dia tak boleh bertahta, maka
didatanginya Belitong, Bangka, Kubu hingga Sukadana. Memanglah…terlepas dari
pro dan kontra cerita Tengku Akil ini, sedianya ada pelajaran dari perjalanan
sejarah serantau yang mesti dikaji dan menarik buat diceritakan.
Sumber :
JU. Lontaan, 1975, Sejarah, Hukum Adat dan
Adat Istiadat Kalbar.
Syair Siak Sri Indrapura Dar As-Salam
Al-Qiyam, oleh SPN. Drs. Ahmad Darmawi, M.Ag.
Sejarah Belitung http://www.begalor.com/new/article.php?id_art=40
Pulau Maya Karimata, oleh Rudy Handoko.
Istana Panembahan Matan-Tanjungpura
di Mulia Kerta, oleh Rudy Handoko.
KERAJAAN TANJUNGPURA
Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura[1] merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang
terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti
bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju
pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal
dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops
elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.
Wilayah kekuasaan Tanjungpura
membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau
Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Borneo (Brunei),
Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah
mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura),
sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan
wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).[2][3]Daerah aliran
Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai
Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[4] Perbatasan di
pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)[5]
Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan
dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi
daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa
Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan
Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali
dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan di masa itu. Pendapat lain beranggapan
Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis
untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Pararaton, Bhre
Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani
Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam
Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat
Bhre Daha VI (1464-1474).
Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit
merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali
mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab
Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari
kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa
itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk.
Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi
mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap
berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs
sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di
Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan
Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah
ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat
istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar
Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis
Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama
kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia
[ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni
pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di
tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut
ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke
Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam
buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah
disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan
(sekarang Kec. Simpang
Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya
adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan
Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura
karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang
ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.
Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat
dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi
bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini
pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di
tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat
mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah
memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan
Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian
riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah
raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian
dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi,
yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura
(2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang
Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri
Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian
nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Kerajaan Sukadana
Kerajaan Sukadana
Peta yang dibuat oleh Oliver van Noord tahun 1600, menggambarkan lokasi Succadano, Tamanpure, Cota Matan, dan Loue[8]
- Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
- Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
- Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
- Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
- Panembahan Baroh (1533–1590)
- Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
- Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
- Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622–1665)
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana
sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang bergelar Sultan.
Kerajaan Matan
- Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
- Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
- Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
- Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
- Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan
Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan
ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau
Kerajaan Simpang-Matan.
Kerajaan (penambahanschap) Simpang-Matan
- Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819). Anak Sultan Ahmad Kamaluddin
- Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845). Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin[9]
- Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889). Anak Panembahan Anom Suryaningrat[9]
- Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
- Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
- Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
- Gusti Ibrahim (1945)
Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang
yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, karena itulah
maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan
Jepang di Indonesia, sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki
Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru
menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan
yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga wafat
pada 1952.
Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
- Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat[10]
- Pangeran Agung
- Sultan Mangkurat Berputra
- Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)[11]
- Pangeran Muhammad Sabran[12]
- Gusti Muhammad Saunan[13]
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië
tahun 1849, wilayah kerajaan-kerajaan ini termasuk dalam wester-afdeeling
berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[14] Meski terpecah-pecah menjadi beberapa
kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan
Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura
II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya masing-masing. Silsilah raja-raja
yang pernah berkuasa di Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan)
di atas adalah salah satu versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain
yang juga menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga
Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber (P.J. Veth,
1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah
Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali
Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti
Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:
Kerajaan Tanjungpura
- Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)
- Hyang-Ta (900–977)
- Siak Bahulun (977–1025)[17]
- Rangga Sentap (1290–?)[18]
- Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)[19]
- Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461–1481)
- Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481–1501)
- Panembahan Kalahirang (1501–1512)[20]
- Panembahan Bandala (1512–1538); Anak Kalahirang
- Panembahan Anom (1538–1565); Saudara Panembahan Bandala
- Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565?1590)
Kerajaan Matan
- Giri Kusuma (1590–1608); Anak Panembahan Bandala
- Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608–1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak
- Panembahan Ayer Mala (1622–1630); Anak Panembahan Bandala
- Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, Panembahan Meliau atau Pangeran Iranata/Cakra (1630–1659); Anak/Menantu Giri Kusuma
- Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659–1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin
- Pangeran Agung (1710–1711); Perebutan kekuasaan
- pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Tanah Merah
- Pangeran Agung Martadipura (1725–1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah
- Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah
- pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
- Pangeran Ratu Agung (1735–1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
- Sultan Muazzidin Girilaya (1749–1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang
- Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762–1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga
- Sultan Muhammad Jamaluddin, sebelumnya: Pangeran Ratu, sebelumnya: Gusti Arma (1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin[21]
- Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831–1843); Anak Pangeran Mangkurat
- Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843–1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat
- Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908); Anak Panembahan Anom Kusuma Negara
- Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran
- Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924–1943); Anak Gusti Muhammad Busra
- Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana)
Penggunaan nama kerajaan
Saat ini nama kerajaan ini diabadikan
sebagai nama universitas negeri di Kalimantan
Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam XII/Tanjungpura
Catatan kaki
1.
^ (Inggris) Tomé Pires,
Armando Cortesão, Francisco Rodrigues (1990). The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from the Red Sea
to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515, and The Book of Francisco
Rodrigues, Rutter of a Voyage in the Red Sea, Nautical Rules, Almanack and
Maps, Written and Drawn in the East Before 1515. 1. Asian Educational
Services. hlm. 224. ISBN 8120605357. http://books.google.co.id/books?id=h82D-Y0E3TwC&lpg=PA224&dq=patee%20unus%20banjarmasin&pg=PA224#v=onepage&q&f=false.ISBN
9788120605350
2.
^ (Inggris) Smedley, Edward
(1845). Encyclopædia metropolitana; or, Universal dictionary of knowledge. hlm. 713. http://books.google.co.id/books?id=xmH3o3vZk2AC&dq=Tanjong%20Dato%20Tanjong%20Sambar&pg=PA713#v=onepage&q=Tanjong%20Dato%20Tanjong%20Sambar&f=false.
3.
^ (Inggris)Malayan miscellanies
(1820). Malayan miscellanies. hlm. 7. http://books.google.co.id/books?id=fBYIAAAAQAAJ&dq=Tanjong%20Dato%20Tanjong%20Sambar&pg=RA3-PA7#v=onepage&q=Tanjong%20Dato%20Tanjong%20Sambar&f=false.
4.
^ (Belanda) Hoëvell, Wolter
Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië. 52. Ter Lands-drukkerij.
hlm. 220. http://books.google.co.id/books?id=PJMKAAAAYAAJ&dq=Iets%20Over%20De%20Munten%20Van%20Bandjarmasin%20En&pg=PA220#v=onepage&q=Iets%20Over%20De%20Munten%20Van%20Bandjarmasin%20En&f=false.
5.
^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu
Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia (1856). Indonesian journal for natural science. 10-11. http://books.google.co.id/books?id=p64WAQAAIAAJ&dq=Kottawaringin&pg=RA1-PA286#v=onepage&q=Kottawaringin&f=false.
6.
^ (Belanda) Blume, Carl
Ludwig (1843). De Indische Bij. 1. H.W. Hazenburg. hlm. 321. http://books.google.co.id/books?id=iAVXAAAAMAAJ&dq=pangeran%20moesa&pg=PA321#v=onepage&q=pangeran%20moesa&f=true.
8.
^ (Inggris)MacKinnon, Kathy (1996). The
ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBn 0-945971-73-7
9.
^ a b (Belanda)
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan
Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 11. Lange & Co.. http://books.google.co.id/books?id=A0pJAAAAMAAJ&dq=pangeran%20agoeng&pg=PA99#v=onepage&q=pangeran%20agoeng&f=false.
10.
^ Gusti Irawan merupakan putra kedua Sultan Muazuddin (Raja Kerajaan Matan)
dan adik dari Sultan Muhammad Tajuddin yang melanjutkan tahta Sultan Muazuddin
sebagai Raja Matan
11.
^ Panembahan Anom diberhentikan sebagai sultan sejak 1833 karena dianggap
tidak loyal kepada Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah Raja Negara Sukadana.
Posisi kepemimpinan Kerajaan Kayong kemudian dialihkan kepada kakak Pangeran
Anom yaitu Pangeran Cakra Negara yang berkuasa sebagai Panembahan Matan pada
periode 1833?1835. Atas campur tangan Belanda, mulai tahun 1835 Pangeran Anom
kembali didudukkan menjadi Panembahan Matan hingga tahun 1847.
12.
^ Muhammad Sabran adalah anak dari Panembahan Anom. Ketika diresmikan
menjadi sultan dengan Surat Keputusan Gubernemen (Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda) No. 3 tertanggal 11 Maret 1847, Pangeran Muhammad Sabran masih berusia
sangat muda sehingga dibentuklah sebuah presidium yang beranggotakan 5 orang
menteri dan diketuai oleh Pangeran Mangkurat untuk menjalankan roda
pemerintahan. Muhammad Sabran baru menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1856.
Pada masa pemerintahan Panembahan Muhammad Sabran, pusat kerajaan berpindah
dari Tanjungpura ke Muliakerta, Ketapang, Kalimantan Barat. Panembahan Sabran
memerintah hingga tahun 1908. Setahun kemudian, pada 1909, Panembahan Sabran
meninggal dunia.
13.
^ Muhammad Saunan merupakan cucu dari Panembahan Sabran yang dinobatkan
sebagai pewaris tahta kerajaan karena sang putra mahkota, anak pertama
Panembahan Sabran yang bernama Pangeran Ratu Gusti Muhammad Busra, wafat
terlebih dulu dari ayahnya. Ketika dilantik sebagai pemimpin kerajaan pada
1909, Gusti Muhammad Saunan (putra pertama Gusti Muhammad Busra) masih belum
cukup dewasa, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Uti Muchsin Pangeran
Laksamana Anom Kesuma Negara (paman Gusti Muhammad Saunan/adik Gusti Muhammad
Busra). Gusti Muhammad Saunan resmi menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1922
dan meninggal dunia pada era pendudukan Jepang di Indonesia yaitu tahun 1942.
15.
^ Menurut Bustan Arifin Al Salatin, Sejarah Nasional, Sejarah Melayu,
Pengaruh Syailendra dan Sriwijaya (850-900)
17.
^ Menurut Sejarah Kalimantan Barat/Cerita Lisan Periode serangan Kerajaan Cola
(India Selatan) ke Sriwijaya
20.
^ Kerajaan pindah ke Sukadana, politik ekspansi sampai Tanjung Datuk,
Tanjung Putting, Karimata, dan Pulau Tujuh
21.
^ (Belanda) Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 11. Lange & Co..
hlm. 49. http://books.google.co.id/books?id=A0pJAAAAMAAJ&dq=pangeran%20agoeng&pg=PA49#v=onepage&q=pangeran%20agoeng&f=false.
Sumber
·
Belanda di Sukadana
·
Belanda di Sukadana
Masuknya bangsa Belanda ke Sukadana diperkirakan pada tahun 1617 dijaman Gubernur Jendral VOC Jan Pietersz Coen. Peninggalan yang ada masih dapat ditemui di daerah Sukadana yang kini menjadi Ibu Kota Kayong Utara antara lain tempat pemandian, tangsi tawanan perang yang tidak jauh dari pantai, kantor pemerintahan Belanda di daerah tanah merah dan Tungku tempat pengolahan Garam berlokasi di pelabuhan lama Sukadana. Kota yang kini menjadi pusat perhatian pemerintah terdiri dari berbagai suku yang ada antara lain suku Bugis yang tersebar diwilayah tersebut.
Masuknya Bugis di Kalimantan Barat yang tercatat di dalam “Situs Javascript:history” tercatata pada tahun 1710 dengan kedatangan Daeng Mataku yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari Sukadana. Dalam sejarahnya bahwa Daeng Mataku pernah membantu penyerangan Istana Sultan Zainudin pada tahun 1710 untuk membantu memperkuat legitimasi kekuasaan Sultan Agung dan diangkat menjadi panglima kerajaan.
Sultan Zainudin meminta bantuan dengan Opu Daeng Manambun yang berasal dari kerajaan Luwuk dengan beberapa saudaranya, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Celak dan Opu Daeng Kemasi. Kedatangan lima bersaudara Opu ke Sukadana menjadikan Daeng Mataku tidak dapat berbuat banyak, dan Daeng Mataku menghormati kedatangannya. Ketika kedatangan lima bersaudara di Matan dan diketahui oleh Daeng Mataku bahwa lima bersaudata tersebut masih kaum kerabatnya dari Sulawesi, Daeng Mataku memohon diri untuk pergi meninggalkan Matan menuju ke Siak Indrapura. Kepergian Daeng mataku ke Siak membawa sebuah meriam “Sigondah” yang ada di dalam perahu Daeng Opu Daeng Manambun, satu meriam di bawa Opu Daeng Manambun ketika kepindahannya ke Sebukit Mempawah, kini meriam tersebut dapat dilihat di Siak Indrapura dan di Mempawah Kalimantan Barat.
Bantuan yang diberikan lima bersaudara menjadikan Sultan Zainudin dapat menduduki tahta kembali dan Pangeran Agung ditempatkan di Darussalam Matan Atas jasa Opu Daeng Menambun maka dikawinkan dengan Puteri Kesumbah anak Sultan Zainudin dan anugrahi dengan gelar Mas Surya Negara. Daeng Mataku meningalkan keturunan di Ketapang yang tersebar di daerah Sukadana, Sungai Puteri,Satong,Siduk,Tanjung Gunung, Semanai,Melisum, Rantau Panjang dan Teluk Batang, Pangkalan Buton yang diperkirakan tempat persinggahan pertama orang Bugis, di Pontianak di daerah Segedong, Teluk Pakedai, Batu Ampar,Sungai Kakap, kawasan Pontianak pada umumnya Daerah-daerah tersebut masih dapat kita jumpai beberapa keturunan yang masih kuat membawa adat istiadat Bugis. Suku Bugis sudah tersebar dibeberapa wilayah Kalimantan Barat maupun Indonesia pada umumnya.
·
100 Tahun Pemerintahan Lanun Tionghoa di Sukadana
·
Posted on December 19 2010 by Pontianak
Post
·
Peneliti sejarah sedang berada di kompleks
kuburan Tionghoa di lereng Gunung Palung Sukadana.
·
SukadanaData yang terhimpun ini dikutip
dari buku-buku kolonial Eropa (lebih banyak versi Portugis, Spanyol, Belanda,
Inggris,) Tiongkok kuno, dan Jepang kuno. Orang Lanun (Ilanun atau Iranun)
adalah suku bangsa yang berasal dari wilayah Filipina Selatan.
·
Suku bangsa Lanun terkenal sebagai bajak
laut yang ditakuti di perairan Asia Tenggara pada abad ke-17 hingga 19. Orang
Lanun seasal dengan suku Maranau yang bertempat tinggal di tengah pulau
Mindanao (Filipina Selatan).
·
Kata Lanun berasal dari bahasa Mangindao,
I-lanao-en, yang berarti “orang danau”, yaitu danau Lanao yang berada di tengah
pulau Mindanao. Dalam bahasa Indonesia-Malaysia kata lanun menjadi sinonim
dengan bajak laut, tanpa menghubungkannya kembali dengan suku bangsa Lanun.
·
Di Indonesia termasyhur Suku Laut atau
sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau.
Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup “berbagai suku dan kelompok yang
bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh,
Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan
Semenanjung Malaya bagian selatan.
·
Secara historis, Orang Laut dulunya adalah
perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Imperium Majapahit,
Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir
bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan itu, dan
mempertahankan hegemoni mereka di daerah itu.
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai “kelana laut” karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai “kelana laut” karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.
·
Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai
penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh
suku Bugis.
·
Orang lanun mendapat kehormatan di
Filipina Selatan, sehingga berdirilah Kesultanan Sulu adalah sebuah
pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di
Filipina Selatan.
Sekitar era 1450-an, seorang Arab dari Johor yaitu Shari’ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Pada tahun 1457, ia mengakomodir kekuatan perantau laut dan mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar “Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr”. Gelar “Paduka” adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan “Mahasari” bermaksud Yang Dipertuan.
Sekitar era 1450-an, seorang Arab dari Johor yaitu Shari’ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Pada tahun 1457, ia mengakomodir kekuatan perantau laut dan mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar “Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr”. Gelar “Paduka” adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan “Mahasari” bermaksud Yang Dipertuan.
·
Pada zaman kegemilangannya, negeri ini
telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga negeri Sabah (Malaysia modern
sekarang).
·
Dalam Kakawin Nagarakertagama, negeri Sulu
disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara
(Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh
mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai
timur laut pulau Kalimantan.
·
Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei
menganugerahkan Sabah Timur (sekarang Malaysia) kepada Kesultanan Sulu atas
bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei.
·
Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu
menganugerahkan Pulau Palawan (sekarang Filipina) kepada Sultan Qudarat dari
Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri
Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan
Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.
·
Kesultanan Maguindanao adalah sebuah
pemerintahan Melayu Islam yang memerintah sebagian Mindanao di Filipina
selatan. Pengaruh kesultanan ini berkembang dari semenanjung Zamboanga ke teluk
Sarangani. Di masa keemasannya, kesultanan ini memerintah seluruh Mindanao dan
juga pulau-pulau yang berdekatan.
·
Sebelumnya, Shariff Mohammed Kabungsuwan
dari Johor memperkenalkan agama Islam di tanah ini pada abad ke-12. Ia kemudian
menikah dengan puteri setempat dan mendirikan Kesultanan Maguindanao dimulai
sekitar tahun 1203 hingga 1205. Kesultanan ini pada mulanya beribukota di
kawasan Cotabato. Kesultanan ini jatuh ke tangan Kerajaan Spanyol dan akhirnya
menjadi sebagian dari Filipina.
·
Sebenarnya, perompakan sudah lama
berlangsung di perairan Asia Tenggara. Selama abad ke-19 Selat Malaka telah
lama menjadi jalur laut penting bagi kapal-kapal yang berlayar dari India dan
dari Atas Angin ke Tiongkok.
·
Jadi perompak tradisional di Asia Tenggara
adalah Orang Laut, atau disebut juga lanun. Mereka bermukim di perkampungan
pesisir negara Malaysia, Indonesia, dan Filipina modern.
Bajak laut Tionghoa juga ditemukan dalam jumlah berarti, biasanya orang-orang terbuang dari masyarakat Tiongkok pada masa dinasti Qing (1644-1911 Masehi). Alasannya dinasti ini didirikan suku dari kawasan Manchuria (di atas Korea sampai Vladivostik Rusia modern sekarang), bukan suku Han, mayoritas warga Tiongkok.
Mereka menemukan relung dengan memangsa kapal-kapal yang berdagang di Laut Tiongkok Selatan dengan menggunakan Kapal Jung. Perompakan juga dapat dilihat sebagai bentuk peperangan yang dilakukan penduduk asli untuk melawan pengaruh Eropa, yang merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.
Bajak laut Tionghoa juga ditemukan dalam jumlah berarti, biasanya orang-orang terbuang dari masyarakat Tiongkok pada masa dinasti Qing (1644-1911 Masehi). Alasannya dinasti ini didirikan suku dari kawasan Manchuria (di atas Korea sampai Vladivostik Rusia modern sekarang), bukan suku Han, mayoritas warga Tiongkok.
Mereka menemukan relung dengan memangsa kapal-kapal yang berdagang di Laut Tiongkok Selatan dengan menggunakan Kapal Jung. Perompakan juga dapat dilihat sebagai bentuk peperangan yang dilakukan penduduk asli untuk melawan pengaruh Eropa, yang merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.
·
Kenapa para perompak laut dari berbagai
suku bangsa bisa bersatu di Asia Tenggara? Jawabannya melawan kemapanan yang
dikuasai penguasa lokal maupun asing yang sering memperbudak nelayan-nelayan
kecil.
·
Menurut catatan Belanda, sebelum menyerang
kota Sukadana di awal abad 19 dari pangkalan angkatan laut Siak-Riau, menulis
kalau selama seratus tahun terdapat pemerintahan lanun (tepatnya untuk kasus
ini bajak laut) dari berbagai suku bangsa. Sukadana terlindungi oleh
pemerintahan lanun lainnya di Pulau Maya dan Karimata.
Posisi Sukadana yang ada di antara Pontianak dan Ketapang, posisi strategis untuk mengganggu kapal-kapal perniagaan di pesisir Kalbar. Sehingga armada Belanda perlu menghancurkan pemerintahan lanun di Sukadana.
Posisi Sukadana yang ada di antara Pontianak dan Ketapang, posisi strategis untuk mengganggu kapal-kapal perniagaan di pesisir Kalbar. Sehingga armada Belanda perlu menghancurkan pemerintahan lanun di Sukadana.
·
Kenapa terjadi kekosongan pemerintahan di
Sukadana selama seratus tahun? Alasannya Kerajaan Tanjungpura sering
berpindah-pindah tempat karena perang antarpewaris takhta dan gangguan lanun.
Seringnya berpindah ibukota itu terjadi dimulai masa pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin.
·
Intelijen Belanda menemukan kasus, kalau
bajak laut yang bermastautin (bermukim) itu bersuku Tionghoa perantauan, bahkan
sampai pekerja-pekerjanya. Suku-suku lain, seperti suku Laut (Melayu
kepaulauan), Bugis, dan lain-lain jumlahnya tidak sebanyak Tionghoa.
·
Sekitar 1822 armada Belanda berhasil
menghancurkan 100 tahun lebih pemerintahan bajak laut di Sukadana, dan
didirikanlah Kerajaan Sukadana yang bercorak Melayu. Ketika tentara Jepang
menguasai ibukota Kerajaan Sukadana tahun 1942, penguasanya bernama Tengku
Betung.
·
Misteri ini masih menyisakan tanda tanya
dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Catatan intelijen Belanda sebelum
penyerangan Sukadana, menerangkan kalau pemerintahan bajak laut yang didominasi
dari perantauan Tiongkok di Sukadana, mengangkat pemimpin karena kepandaiannya
dan dipilih rakyatnya langsung bukan berdasarkan keturunan (dinasti).
·
Akan tetapi kalau meneliti jejak rekam
warga perantauan Tionghoa di Sukadana (khususnya sebelum hari penyerangan
Sukadana), sudah punah. Warga Tionghoa perantauan di Sukadana yang ada sekarang,
sebagaimana penelitian di makam Tionghoa di lereng Gunung Palung, kebanyakan
perantau di awal abad 20.
·
Kerajaan Tanjungpura
·
Kerajaan Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kayong Utara ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura.
Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Brunei dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)
Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakimpoi Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan di masa itu. Pada masa Brawijaya I ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas, Sukadana (Tanjungpura) hingga Karasikan (Kepulauan Sulu) dengan rajanya seorang dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (= Bhre Tanjungpura I 1429-1464?) digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura II 1464-1487?). Raden Sekar Sungsang(= Bhre Tanjungpura III 1487-xxxx?) putera dari Pangeran Aria Dewangsa, memindahkan ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Daha. Menurut Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.
Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Nama Matan sendiri mulai digunakan pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin yang merupakan raja pertama Kerajaan Matan. Sultan Muhammad Zainuddin, yang memiliki nama kecil Gusti Jakar Negara, adalah putra sulung dari Raja Sukadana yang terakhir, yaitu Gusti Kesuma Matan alias Gusti Mustika (1622—1665) yang juga memiliki dua anak lainnya, yakni Pangeran Agung dan Indra Mirupa atau Indra Kesuma. Gusti Mustika sendiri merupakan Raja Matan pertama yang menggunakan gelar sultan, gelar raja yang berciri Islam, dan menyandang gelar Sultan Muhammad Syaifuddin. Agama Islam sendiri sudah masuk ke Kalimantan sejak permulaan tahun 1550 yang dibawa kaum pedagang Arab dari Palembang.
Pada akhir pemerintahan Kerajaan Sukadana di bawah rezim Sultan Muhammad Syaifuddin, terjadi peperangan yang dikenal sebagai Perang Sanggau. Selain itu, pada 1622 Kerajaan Sukadana juga mendapat serangan dari Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung. Tidak hanya itu, gangguan dari gerombolan bajak laut di sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata pun semakin merajalela. Kekacauan demi kekacauan inilah yang kemudian berakibat pada runtuhnya Kerajaan Sukadana. Agar tetap bertahan, maka pusat Kerajaan Matan dipindahkan ke wilayah yang kemudian dikenal sebagai tempat berdirinya Kerajaan Matan di bawah pimpinan putra mahkota Gusti Jakar Negara atau Sultan Muhammad Zainuddin.
Pemerintahan perdana Kerajaan Matan pertama oleh Sultan Muhammad Zainuddin ternyata tidak berjalan mulus. Ancaman justru datang dari Pangeran Agung yang berambisi untuk menggulingkan tahta kakaknya. Untuk mengatasi ancaman perpecahan ini, Sultan Muhammad Zainuddin mendapat bantuan dari lima bersaudara asal Bugis yang datang dari Simpang ke Matan. Lima bersaudara yang terkenal dengan sebutan Daeng Menambun ini terdiri dari Opu Daeng Perani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak (Mulia [ed.], 2007:18). Atas pertolongan dari Daeng Menambun bersaudara, selamatlah tahta Sultan Muhammad Zainuddin dengan berhasil ditangkapnya Pangeran Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar